RUU Minerba Resmi Disahkan Menjadi Undang-Undang

Jakarta, kabarpertiwi.com – Pada tanggal 18 Februari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia resmi mengesahkan revisi keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Salah satu poin penting dalam revisi ini adalah pemberian prioritas kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta koperasi dalam memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam dapat dinikmati secara adil dan merata oleh berbagai lapisan masyarakat.

 ​Selain itu, organisasi kemasyarakatan keagamaan juga diberikan kesempatan untuk terlibat dalam pengelolaan pertambangan. Langkah ini diambil mengingat peran signifikan organisasi tersebut dalam sejarah dan pembangunan Indonesia, namun sebelumnya belum mendapatkan ruang yang optimal dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Revisi UU Minerba ini juga menekankan pentingnya pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Pemerintah menegaskan bahwa pemegang IUP dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang dengan tingkat keberhasilan 100%. Hal ini untuk mencegah terjadinya lubang-lubang bekas tambang yang terbengkalai dan mengurangi potensi pencemaran lingkungan. ​

Namun, beberapa pihak mengkritisi revisi ini dengan menyebut bahwa pemerintah mengabaikan ancaman risiko dari Undang-Undang Minerba yang baru. Mereka menilai bahwa cara penguasa melegalkan pengelolaan tambang yang serampangan dapat berdampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. ​

Secara keseluruhan, revisi UU Minerba ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, serta mendorong partisipasi lebih luas dari berbagai elemen masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam Indonesia.

Adapun perubahan atau penambahan pasal pada Undang-Undang Minerba yaitu sebagai berikut:

  1. Tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengamanatkan beberapa penyesuaian dalam Undang-Undang terkait dengan pemaknaan jaminan ruang dan perpanjangan kontrak;
  2. Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), atau Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi penetapan tata ruang dan kawasan serta tidak ada perubahan tata ruang dan kawasan bagi pelaku usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), atau Izin Pertambangan Rakyat (IPR);
  3. Pengutamaan Kebutuhan Batubara dalam Negeri sebelum dilakukan penjualan ke luar negeri (Domestic Market Obligation/DMO);
  4. WIUP Mineral Logam atau Batubara diberikan kepada koperasi, badan usaha kecil dan menengah, dan badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan yang menjalankan fungsi ekonomi dengan cara pemberian prioritas;
  5. Pemberian pendanaan bagi perguruan tinggi dari sebagian keuntungan pengelolaan WIUP dan WIUPK dengan cara prioritas kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta, dalam rangka meningkatkan kemandirian, layanan pendidikan, dan keunggulan Perguruan Tinggi;
  6. Dalam rangka hilirisasi dan industrialisasi, pelaksanaan Pemberian WIUP/WIUPK dengan cara prioritas kepada BUMN atau Badan Usaha Swasta bagi peningkatan nilai tambah di dalam negeri;
  7. Pemerintah dapat melakukan penugasan kepada lembaga riset negara, lembaga riset daerah, BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta untuk melakukan penyelidikan dan penelitian dan/atau kegiatan pengembangan proyek pada wilayah penugasan;
  8. Pelayanan perizinan berusaha melalui sistem pelayanan perizinan berusaha pertambangan Mineral dan Batubara melalui sistem Online Single Submission (OSS);
  9. Pelaksanaan audit lingkungan sebagai persyaratan perpanjangan Kontrak Karya/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan diperpanjang menjadi IUPK sebagai kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian;
  10. Pengembalian lahan yang tumpang tindih sebagian atau seluruh WIUP-nya kepada negara;
  11. Peningkatan komitmen pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dan penegasan perlindungan terkait hak masyarakat dan/atau masyarakat adat; dan
  12. Memberikan waktu kepada Pemerintah dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan untuk menyelesaikan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang.

Laporan: Admin

Pos terkait

http://kabarpertiwi.com/wp-content/uploads/2025/06/banner-samping-bang-AD.jpg

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *